Oleh: Pemerhati Desa dari Pinggiran Prindavan
Konon kabarnya, keberangkatan 12 kepala desa negeri prindavan ke negeri seberang baru-baru ini disambut tepuk tangan oleh para pejabat daerah. Tak tanggung-tanggung, rombongan ini dikawal langsung oleh Wakil Bupati dan Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Lombok Tengah. Sebuah langkah "strategis", katanya, demi menimba ilmu dari desa maju di luar negeri. Mungkin ilmu tentang wifi sawah atau robot pembajak atao ilmu tentang mengukur kedalaman pusat hiburan kota besar.
Sayangnya, rombongan ini tampaknya lupa bahwa Inpres Nomor 1 Tahun 2025 baru saja diteken Presiden. Isinya jelas dan gamblang: seluruh elemen pemerintah, dari pusat hingga desa, diminta mengencangkan ikat pinggang, mengefisienkan belanja, dan memfokuskan anggaran pada pembangunan langsung yang menyentuh rakyat.
Tapi apa boleh buat, mungkin Inpres itu belum sempat dibaca—tercecer di bawah map perjalanan. Lagipula, jalan-jalan ke luar pulau memang melelahkan, jadi jangan ganggu dengan urusan rakyat. Urusan sanitasi desa yang mangkrak, rumah tidak layak huni atau jalan setapak yang berlumpur tampaknya bisa menunggu, toh rakyat sudah biasa hidup sederhana. Tidak ada salahnya para pemimpinnya hidup sedikit mewah—sekali-kali, katanya.
Yang jadi soal bukan hanya soal biaya perjalanan yang konon memakan biaya cukup relatip besar. Tapi lebih pada prioritas dan etika tata kelola anggaran. Kalau rakyat disuruh hemat minyak goreng, apakah pantas pemimpinnya menenggak kopi latte di lounge bandara? Apakah desa akan langsung berubah setelah pulang nanti? Ataukah yang berubah hanya dasboard FBpro mereka?
Barangkali, kita memang perlu program pertukaran. Tapi bukan pertukaran kepala desa ke luar pulau Melainkan pertukaran perspektif: dari atas ke bawah. Dari melihat langit ke melihat lumpur.
Atau mungkin, kita butuh satu Inpres baru:
“Inpres tentang Kewarasan Anggaran: Jangan Sampai Jalan-jalan Membuat Jalan Desa Terlupakan.”
LDR