KEPALA DESA BERHAK BERSUARA: ANTARA NETRALITAS, HAK KONSTITUSIONAL, DAN ETIKA DEMOKRASI


Oleh: Amaq Oemar


Opini: Pemberitaan yang dimuat oleh salah satu media pemberitaan online yang mempertanyakan peran KADES dlm menyuarakan aspirasi rakyat terkait PAW salah satu anggota DPRD Loteng. Artikel tersebut tampak menyudutkan pernyataan Ketua Forum Kepala Desa (FKD) Lombok Tengah yang mendorong percepatan proses Pergantian Antar Waktu (PAW) di DPRD setempat dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun yang luput dari perhatian adalah: apakah kepala desa benar-benar sedang “menekan partai”? Atau justru sedang menyuarakan keresahan rakyatnya?

Netralitas kepala desa memang penting. Pasal 29 huruf (g) UU No. 3 Tahun 2024 tentang Desa dengan tegas melarang kepala desa menjadi pengurus partai politik atau terlibat dalam politik praktis. Tetapi netral bukan berarti bisu. Dalam demokrasi, apalagi di tingkat lokal, pejabat publik memiliki kewajiban untuk merespons suara rakyat yang diwakilinya secara administratif.

Prof. Jimly Asshiddiqie mengingatkan dalam teori Demokrasi Konstitusional bahwa:
> “Netralitas bukan pembungkaman. Setiap pejabat publik tetap memiliki hak berbicara, sejauh tidak melanggar prinsip kepatutan dan keadilan jabatan.

Maka ketika FKD menyampaikan keprihatinan atas lambannya proses PAW yang berimplikasi pada representasi masyarakat Dapil IV, itu bukan intervensi politik partai, melainkan refleksi sosial dari realitas pelayanan publik yang pincang.

Tidak Ada Kegentingan? Jangan Abaikan Rasa Keadilan Publik
Memang benar, PPP masih memiliki wakil-wakil di DPRD. Namun kekosongan satu kursi di Dapil tertentu tetaplah kehilangan suara rakyat, dan itu bukan soal administratif semata. Masyarakat yang tidak lagi memiliki representasi langsung punya hak untuk menggugat ketertundaan tersebut secara moral dan publik. Dan kepala desa adalah kanal alami untuk menyampaikan keresahan itu, bukan aktor politik.

Dalam hal ini, asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB) dalam Pasal 3 huruf (c) dan (d) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan justru mendukung partisipasi dan keterbukaan sebagai unsur penting. Maka diamnya pejabat desa terhadap situasi yang mempengaruhi aspirasi masyarakat justru bisa dianggap sebagai pengabaian terhadap asas responsif dan akuntabel.

Namun, politik bukan sekadar legalitas, tetapi soal integritas dan legitimasi moral. Mengutip Putusan MK No. 4/PUU-VII/2009, memang benar pembatasan hak politik harus bersifat eksplisit dan proporsional. Tapi perlu juga diingat bahwa Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016 menegaskan pentingnya pemimpin publik memiliki rekam jejak integritas karena ia adalah wajah kehormatan lembaga.

Jadi, bila publik menyampaikan keberatan atas seseorang yang secara hukum boleh menjabat namun secara moral dipertanyakan, itu bukan pelanggaran. Itu bagian dari kontrol etis yang sangat dibutuhkan dalam demokrasi substantif.

Prof. Saldi Isra menekankan:
> “Partai politik adalah alat rakyat. Bila rakyat melalui saluran sosial menyampaikan koreksi, itu sah sebagai praktik checks and balances dalam demokrasi.”

Jangan Sakralkan Hak Partai, Bungkam Suara Desa
Adalah kesalahan besar bila partai merasa satu-satunya entitas yang boleh bersuara atas proses politik. Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menjamin hak warga negara, termasuk kepala desa, untuk menyatakan pendapat. Asalkan tidak dalam kapasitas partisan, kepala desa tetap punya hak konstitusional untuk menyalurkan aspirasi masyarakat, termasuk soal representasi politik di DPRD.

Apalagi Forum Kepala Desa (FKD) bukan lembaga politik, tetapi forum koordinatif dan sosial. Bila FKD menyampaikan keprihatinan, itu bukan panggung politik, melainkan refleksi sosial atas macetnya jalur representasi formal.

Penutup: Demokrasi Bukan Monopoli Partai
Demokrasi lokal bisa rusak bukan hanya karena partai yang dominan, tapi juga karena dibungkamnya suara-suara kecil dari desa. Kepala desa bukan musuh partai, tapi mitra sosial yang lebih dekat dengan denyut kebutuhan rakyat. Bila kepala desa diminta diam saat rakyatnya kehilangan wakil di DPRD, maka itu bukan netralitas—itu pengebirian.

Partai boleh menentukan calon PAW. Tapi masyarakat, termasuk kepala desa, berhak menyuarakan harapan agar yang diusulkan bukan hanya sah secara hukum, tapi juga pantas secara etika.

Maka jangan buru-buru melabeli kepala desa sebagai pelanggar netralitas. Karena dalam demokrasi, suara desa pun bagian dari gema konstitusi.

Praya, 30 Juli 2025

Amaq Ormar