Opini Hukum: Laporan NGO Sebagai Instrumen Kontrol Sosial: Antara Idealitas dan Realitas Penegakan Hukum



Oleh: Amaq Zubair

Publik NTB belakangan akrab disuguhi dengan berita laporan-laporan oknum LSM/NGO kepada Aparat Penegak Hukum (APH) diberbagai media pemberitaan. Hampir tiap bulan ada saja laporan oknum LSM/NGO yang mereka publikasikan  seperti misalnya  dugaan korupsi mantan Kades Bilebante, dugaan tambang emas Sekotong, dugaan penyimpangan pembangunan gedung SMP di Praya, dugaan kasus ijazah palsu, dugaan reklamasi pantai di Lombok Barat, isu dugaan dana BOS di Dikbud, dugaan program fiktif di Disperindag Lombok Tengah hingga dugaan pembangunan dermaga tanpa ijin.

Secara hukum, semua laporan ini sah dan wajar wajar saja. Dalam KUHAP Pasal 108 menegaskan siapa pun berhak melapor. UU Tipikor Pasal 41 juga memberi ruang masyarakat ikut mengawasi. Bahkan UU Keterbukaan Informasi Publik menjamin akses terhadap data anggaran. Jadi kehadiran NGO pada dasarnya memperkuat fungsi kontrol sosial.

Namun yang jadi masalah: publik jadi gusar, tidak tahu ujungnya di mana dan kemana. Laporan heboh saat masuk ke Polres, Polda, Kejari atau Kejati, tetapi jarang ada update. Tidak ada SP2HP yang dipublikasikan, tidak ada progres resmi yang bisa diakses masyarakat. Kondisi ini melahirkan stigma dan kecurigaan di masyarakat, apakah laporan laporan dan atau aduan aduan tersebut hanya menjadi komoditas, alat pencitraan, atau bahkan bahan “pemicu” untuk negosiasi di luar jalur hukum??.

Jika pola ini benar terjadi dan kemudian dibiarkan, risikonya serius. Pertama, masyarakat makin apatis terhadap hukum karena laporan tidak menghasilkan keadilan. Kedua, kepercayaan publik terhadap aparat dan NGO hancur. Ketiga, budaya kompromi terbentuk, kasus hukum dianggap bisa diselesaikan di bawah meja. Ini preseden berbahaya bagi NTB yang sedang berjuang membangun daerahnya dengan gubernur barunya..

Lalu bagaimana solusinya?

Bagi aparat penegak hukum, kunci utama adalah transparansi. Setiap laporan wajib diumumkan statusnya, minimal apakah diterima, ditelaah, atau ditindaklanjuti. SP2HP bukan sekadar formalitas, tapi harus benar-benar dikirim ke pelapor dan diinformasikan secara terbuka. Jika ada laporan yang dihentikan, alasannya harus jelas agar tidak menimbulkan spekulasi.

Bagi NGO/LSM, integritas adalah harga mati. Jangan jadikan laporan sebagai panggung sesaat. Masyarakat butuh kepastian bahwa advokasi yang dilakukan murni untuk kepentingan publik, bukan alat tekan untuk mencari keuntungan. Laporan juga harus disertai data dan bukti kuat, bukan sekadar isu politik.

Sementara masyarakat perlu kritis. Jangan hanya ikut ramai di awal, tapi kawal progresnya. Jika aparat tidak transparan, ada jalur hukum lain seperti misalnya melalui koordinasi dengan Ombudsman untuk maladministrasi, atau Komisi Informasi bila terkait keterbukaan data. Dengan begitu, laporan tidak berhenti di meja, tapi bergerak sampai ada kepastian hukum.

Fenomena, maraknya laporan NGO seharusnya menjadi energi positif untuk memperkuat kontrol publik. Tetapi jika laporan hanya berhenti di media dan tidak ada tindak lanjut, keadilan hanya menjadi retorika.

Hukum bukan untuk diperdagangkan. Jika laporan hanya jadi komoditas, maka keadilan mati di meja kompromi.

Semua pihak harus mengingat pesan sederhana ini: laporan adalah pintu menuju kebenaran, bukan alat tawar-menawar. Aparat, NGO, dan masyarakat punya tanggung jawab bersama menjaga integritas proses hukum di NTB.

Ditulis oleh Amaq Zubair

Praya, 29 September 2025.