Oleh : Lalu Darmawan
(Pengurus Yayasan Masjid Besar Baiturrahim Penujak Lombok Tengah)
Sweden’s “Freedom of the Press” legislation in 1766 shall be deemed as the first and the oldest towards ‘freedom of information’ movement. Demikian kutipan dari postnya Babji Yana (Editor, Public Relations Voucer (a PR exclusivel Journal) @quora.com. Bahwa Swedia adalah negara pertama yang menerapkan konsep keterbukaan informasi publik dengan mengesahkan Undang-Undang “Kebebasan Pers” pada tahun 1766. Undang-undang ini dianggap sebagai gerakan awal dan tertua yang mendukung “kebebasan informasi” bagi warga negaranya, meskipun konsep hukum informasi modern berkembang jauh kemudian di banyak negara lain.
Demikian juga dengan Indonesia Pasca Reformasi, arus harapan publik terhadap penyajian informasi publik menjadi tuntutan untuk dapat menguatkan pilar negara demokrasi. Pertanyaan awalnya adalah apa arti dan pentingnya keterbukaan informasi? keterbukaan informasi diawali dengan disahkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Undang-Undang inilah menjadi pandu arah memahami arti penting Keterbukaan Informasi Publik untuk memberikan jaminan kepastian, khususnya bagi masyarakat untuk dapat mengakses informasi yang ada di badan publik.
Sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat 1 dan ayat 2, bahwa Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan dan Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar dan tidak menyesatkan. Hal ini menunjukkan tidak ada lagi celah bagi badan publik untuk tidak atau bahkan menghalang-halangi masyarakat untuk mengetahui semua informasi yang tersedia.
Sejarah keterbukaan publik di Indonesia berakar dari tuntutan demokrasi dan hak asasi manusia, yang diperkuat melalui amandemen UUD 1945. Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak mencari, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal ini merupakan dasar hukum atas hak informasi dan komunikasi di Indonesia, yang juga dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik sebagaimana disebutkan a quo.
Keterbukaan informasi publik dijamin dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Meskipun undang-undang tersebut sudah lama diberlakukan, namun pemahaman dan kesadaran seluruh kepentingan dan masyarakat masih memerlukan waktu.
Keterbukaan informasi publik merupakan hal yang masih dipandang sebagai sesuatu yang abstrak dan sulit dipahami. Karena itu, paling kurang kita dapat memahami dua hal mendasar tentang keterbukaan informasi publik, pertama, apa makna keterbukaan informasi pubik? Dan kedua bagaimana prosedur penyelesaian sengketa informasi publik?
Makna Keterbukaan Informasi Pubik
Hak atas komunikasi dan informasi dapat dimaknai bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi untuk perkembangan diri mereka dan masyarakat sekitar. Informasi tersebut menjadi kunci bagi seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya, keterampilan, dan juga untuk memahami serta berkontribusi pada lingkungan sosialnya. Sehingga ketika hal dasar ini tersumbat maka potensi terjadi gejolak dan saling ‘tuding’ antar warga masyarakat dan negara menjadi sulit dihindari.
Dalam rangka mengimplementasikan Pasal 28F UUD 1945 hingga Penetapan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) maka badan publik wajib memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya mudah dan terjangkau sehingga badan publik akan terhindar dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga tujuan untuk menciptakan kesejahteraan rakyat dapat ditunaikan.
Sebagaimana amanat Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar demi kemakmuran rakyat.
Keterbukaan informasi publik Juga merupakan salah satu bentuk dari pemenuhan hak asasi manusia. Sementara Komisi Informasi (KI) dan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) sebagai penyelenggara dari UU KIP. Walaupun dalam pelaksanaannya terjadi beberapa kendala yang dihadapi oleh Petugas PPID dalam menjalankan UU KIP bukan hanya dari internal penyelanggara UU KIP semata, melainkan juga dari eksternal seperti masyarakat yang kurang memahami UU KIP.
Perlu kita pahami, bahwa Informasi publik ada yang dapat diperoleh oleh publik dan ada yang tidak. Terdapat informasi publik yang termasuk Informasi yang wajib diumumkan dan disediakan. Yang dimaksud dengan informasi ini adalah informasi yang wajib disediakan dan/atau diumumkan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan Informasi Publik. Informasi jenis ini bisa diakses melalui media informasi badan publik yang bersangkutan atau dimohonkan oleh pemohon informasi publik.
Selain itu terdapat Informasi Publik yang dikecualikan, yaitu informasi publik yang dikecualikan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan Informasi Publik. Informasi publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas, serta rahasia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan kepentingan umum yang didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup informasi publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membuka Informasi Publik.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menyatakan informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional. Hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia dan keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang lebih baik. Keterbukaan informasi publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik. Pelanggaran terhadap UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diancam hukum pidana.
Secara umum terdapat dua jenis informasi yaitu Informasi yang terbuka dan informasi yang dikecualikan.
Informasi yang terbuka sesuai pasal 9 sampai 11 UU 14/2008, antara lain: a. Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan, b. Informasi yang wajib diumumkan secara sertamerta, c. Informasi yang wajib tersedia setiap saat.
Sedangkan informasi yang dikecualikan sesuai pasal 17 UU 14/2008, antara lain: a. Menghambat penegakan hukum, b. Mengganggu kekayaan intelektual & persaingan usaha yang sehat, c. Membahayakan pertahanan dan keamanan, d. Mengungkapkan kekayaan alam Indonesia, e. Merugikan ketahanan ekonomi nasional, f. Merugikan persandian negara, g. Mengungkapkan akta otentik yang bersifat pribadi/wasiat, h. Mengungkapkan rahasia pribadi, i. Surat-surat antara badan publik/intra badan public, j. Tidak boleh diungkap menurut Undang-Undang.
Penerapan Keterbukaan Informasi Publik
Secara sederhana dapat penulis uraikan formula implementasi terhadap prosedur dan mekanisme melaksanakan ketentuan UU 14 tahun 2008 dengan uraian sebagai berikut:
Pertama, pada prinsipnya, seluruh informasi bersifat terbuka selain yang dikecualikan (Badan publik menerapkan negative list). Penolakan berdasarkan pengujian atas konsekuensi yang timbul.
Demikian juga dengan jangka waktu kerahasiaannya bersifat tidak permanen.
Kedua, Kepastian Layanan, ada batasan waktu untuk merespon dan melayani permohonan informasi. Diatur jenis informasi yang harus diumumkan berkala, serta merta dan tersedia setiap saat, selain berdasarkan permintaan.
Ketiga, Sanksi, terdapat ancaman sanksi denda dan penjara untuk kepada pihak yang menghambat memberikan informasi yang tidak dikecualikan.
Secara singkat, prosedur Layanan Informasi Publik dapat dilakukan dimulai dari mengajukan Permohonan Informasi kepada; di setiap badan publik dan dilengkapi data diri. Pemohon akan memperoleh bukti registrasi, selanjut PPID akan memberikan jawaban diterima seluruhnya, sebagian atau di tolak. Dalam hal ditolak maka pemohon dapat mengukan keberatan kepada atasan PPID dalam hal pemohon keberatan maka pemohon dapat mengajukan sengketa informasi di Komisi Informasi.
Sengketa informasi publik merupakan langkah pengujian terhadap informasi publik apakah termasuk informasi yang dikecualikan atau justru sebaliknya merupakan informasi yang wajib dipublikasikan.
Untuk meminimalisir pengajuan permohonan informasi beberapa langkah kerja perlu dilakukan antara lain pertama, memberikan pemahaman tentang keterbukaan informasi publik pada seluruh pegawai/petugas. Kedua, mempublikasikan informasi publik pada berbagai media yang memungkinkan untuk meminimalkan permohonan informasi.
Karena itu, untuk mendukung tata layanan informasi publik beberapa hal perlu dipahami terutama sekali berkaitan dengan tata cara menghadapi Pemohon Informasi antara lain dengan; Pertama, tidak bersikap menghindar terhadap pihak/masyarakat yang meminta informasi. Kedua, Identifikasi apakah informasi yang diminta termasuk informasi publik atau informasi dikecualikan. Ketiga, menghadirkan atmosfer layanan publik yang ramah dan bersahabat
Pada banyak peristiwa aksi kritik atau demonstrasi seringkali berawal dari ketidak terbukaan badan publik dalam menyediakan informasi. Misalnya sumber anggaran, jumlah anggaran dan alokasi belanja anggaran. Termasuk misalnya juga dengan suatu proses seleksi jabatan; syarat, jadwal seleksi, tempat, nilai dan metode penilaian menjadi suatu informasi yang mutlaq wajib disediakan.
C. Penyelesaian Sengketa Informasi Publik
Pembaca budiman yang baik, salah satu hal penting patut dan perlu terus disosialisasikan adalah mengenai tata cara penyelesaian sengketa informasi. Tata cara penyelesaian sengketa yang terjadi antara badan publik dan pengguna informasi publik yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan informasi berdasarkan perundang-undangan.
Komisi Informasi adalah Lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau jalur ajudikasi. Permohonan sengketa informasi yang diajukan atau permohonan penyelesaian sengketa yang masuk ke Komisi Informasi. Putusan Komisi Informasi sebenarnya bukan akhir dari segalanya, dalam arti bukan putusan yang benar-benar final dan mengikat. Artinya, masih ada upaya hukum lain yang disediakan undang-undang.
Jika salah satu pihak – pemohon informasi atau badan publik termohon informasi - tak setuju atas putusan Komisi Informasi, mereka bisa mengaku keberatan ke pengadilan.
Mekanisme keberatannya diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 2 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan. Perma menyebutkan bahwa mekanisme keberatan itu diajukan dalam format gugatan, yakni keberatan yang diajukan salah satu pihak, sesuai Pasal 48 ayat (1) UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP), keberatan itu harus dinyatakan secara tertulis.
Ada dua jalur yang disediakan: Peradilan Umum (PN) atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Yang menentukan jalur yang digunakan adalah status siapa yang digugat. Jika tergugatnya adalah Badan Publik Negara, jalurnya melalui PTUN; sebaliknya jika tergugat Badan Publik non-negara yang digunakan adalah Peradilan Umum. Pasal 47 UU KIP menegaskan pembagian pengadilan yang berwenang.
Dalam Proses Penyelesaian Sengketa di Komisi Informasi dapat ditempuh melalui dua proses Mediasi dan/atau Ajudikasi non-litigasi.
Mediasi adalah penyelesaian Sengketa Informasi Publik antara para pihak melalui bantuan mediator komisi informasi. Putusan Komisi Informasi yang berasal dari kesepakatan melalui Mediasi bersifat final dan mengikat.
Penyelesaian sengketa melalui Mediasi merupakan pilihan para pihak dan bersifat sukarela. (2) Penyelesaian sengketa melalui Mediasi hanya dapat dilakukan terhadap pokok perkara yang terdapat dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g. (3) Kesepakatan para pihak dalam proses Mediasi dituangkan dalam bentuk putusan Mediasi Komisi Informasi. Dalam proses Mediasi anggota Komisi Informasi berperan sebagai mediator.
Sementara yang dimaksud "Ajudikasi non-litigasi" adalah penyelesaian sengketa ajudikasi di luar pengadilan yang putusannya memiliki kekuatan setara dengan putusan pengadilan. Sidang ajudikasi, Majelis Komisioner mewajibkan para pihak untuk menempuh proses penyelesaian sengketa melalui mediasi terlebih dahulu dalam hal penolakan permohonan informasi atas alasan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf g UU KIP; (bukan informasi yang dikecualikan), ayat (2) Dalam hal penolakan permohonan informasi atas alasan pengecualian berdasarkan Pasal 35 ayat (1) huruf a UU KIP, Majelis Komisioner langsung memeriksa pokok sengketa tanpa melalui mediasi. (informasi yang dikecualikan).
Ajudikasi adalah proses penyelesaian Sengketa Informasi Publik antara para pihak didalam persidangan yang diputus oleh Komisi Informasi.
Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Ajudikasi non-litigasi oleh Komisi Informasi hanya dapat ditempuh apabila upaya Mediasi dinyatakan tidak berhasil secara tertulis oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, atau salah satu atau para pihak yang bersengketa menarik diri dari perundingan.
Prinsip ajudikasi Pasal 26 Perki (Peraturan Komisi Informasi) nomor 1 Tahun 2013, bahwa (1) Sidang ajudikasi bersifat terbuka untuk umum kecuali dalam hal Majelis Komisioner melakukan pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang dikecualikan.
(2) Majelis Komisioner bersifat aktif dalam proses persidangan.
(3) Majelis Komisioner wajib menjaga kerahasiaan dokumen dalam hal dilakukannya pemeriksaan yang berkaitan dengan dokumen-dokumen yang termasuk dalam pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
(4) Pemohon dan / atau kuasanya tidak dapat melihat atau melakukan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat(1).
Upaya Hukum Atas Putusan
Upaya hukum atas putusan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pada ketentuan Pasal 47 (1) Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan tata usaha negara apabila yang digugat adalah Badan Publik negara.
(2) Pengajuan gugatan dilakukan melalui pengadilan negeri apabila yang digugat adalah Badan Publik selain Badan Publik negara sebagaimana dimaksud pada ayat(1).
Sementara Pasal 48 ayat 1 Pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat ditempuh apabila salah satu atau para pihak yang bersengketa secara tertulis menyatakan tidak menerima putusan Ajudikasi dari Komisi Informasi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diterimanya putusan tersebut.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan, menjelaskan:
Pasal 3 kemudian kanjut Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik,
a) Pengadilan Negeri berwenang untuk mengadili sengketa yang diajukan oleh Badan Publik selain Badan Publik Negara dan/atau Pemohon Informasi yang meminta informasi kepada Badan Publik selain Badan Publik Negara
b) Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang untuk mengadili sengketa yang diajukan oleh Badan Publik Negara dan/atau Pemohon Informasi yang meminta informasi kepada Badan Publik Negara.
Pasal 4, ayat (1) Salah satu atau para pihak yang tidak menerima putusan Komisi Informasi dapat mengajukan keberatan secara tertulis ke Pengadilan yang berwenang, ayat (2) Keberatan sebagaimana dimaksud ayat (1) diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak salinan putusan Komisi Informasi diterima oleh para pihak berdasarkan tanda bukti penerimaan, ayat (3) Dalam hal salah satu atau para pihak tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud ayat (2) maka putusan Komisi Informasi berkekuatan hukum tetap.
Ketentuan Sanksi Pidana terhadap pengabaian hak hak masyarakat dalam menyediakan informasi publik antara lain terdapat pada pasal 51 sampai dengan pasal 55, dengan uraian; bahwa Sengaja menggunakan informasi secara melawan hukum dipidana 1 tahun penjara dan/atau denda maksimal 5 juta; (Pasal 51).
Kemudian sengaja tidak menyediakan informasi yang harus diumumkan berkala, tersedia setiap saat, dan serta merta yang mengakibatkan kerugian orang lain dipidana 1 tahun kurungan dan/atau denda maksimal 5 juta (Pasal 52).
Sengaja dan melawan hukum, menghancurkan, merusak, menghilangkan dokumen yang dilindungi negara dan/atau terkait dengan kepentingan umum dipidana 2 tahun penjara dan/atau denda maksimal 10 juta (Pasal 53).
Sengaja dan tanpa hak mengakses/memperoleh/memberikan informasi yang dikecualikan dipidana 2 th penjara dan denda maksimal 10 juta serta 3 tahun penjara dan denda maksimal 20 juta untuk kerahasiaan pertahanan dan keamanan dan ketahanan ekonomi nasional (Pasal 54).
Sengaja membuat informasi yang tidak benar atau menyesatkan yang mengakibatkan kerugian orang lain dipidana 1 tahun penjara dan/atau denda maksimal 5 juta (Pasal 55).
Kelaian atau pelanggaran terhadap pelaksanaan informasi publik termasuk delik pidana dalam UU KIP adalah delik aduan.
Keterbukaan Informasi Publik dan Percepatan Reformasi Birokrasi Informasi merupakan kebutuhan pokok setiap orang, baik untuk pengembangan pribadi, maupun lingkungan sosialnya. Itulah sebabnya, memperoleh informasi merupakan Hak Asasi Manusia. Terlebih lagi, keterbukaan informasi publik merupakan salah satu ciri penting negara demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik.
Tak berhenti pada UU KIP, pemerintah juga mengatur keterbukaan informasi publik menjadi salah satu bagian dalam upaya percepatan Reformasi Birokrasi yang masuk dalam area perubahan Penataan Tatalaksana. Penataan Tatalaksana sendiri bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi sistem, proses, dan prosedur kerja, baik pada level kementerian/lembaga, hingga pemerintah daerah.
Caranya, dengan menerapkan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) sebagai acuan dalam integrasi proses bisnis, data, infrastruktur, aplikasi dan keamanan. Tentunya SPBE diharapkan dapat menghasilkan keterpaduan secara nasional. Hal ini sejalan dengan tujuan Reformasi Birokrasi, yakni untuk mempercepat tercapainya tata kelola pemerintahan yang baik di semua instansi penyelenggara pelayanan publik, baik pada tataran Kementerian/Lembaga, maupun pemerintah daerah.
Keterbukaan informasi publik dalam lampiran Permenpan-RB No. 26 Tahun 2020 tentang Pedoman Evaluasi Pelaksanaan Reformasi Birokrasi diukur dalam beberapa kondisi, yakni apakah ada kebijakan pimpinan tentang keterbukaan informasi publik, apakah telah melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan keterbukaan informasi publik, dan apakah implementasi SPBE telah terintegrasi dan mampu mendorong pelaksanaan pelayanan publik yang lebih cepat dan efisien serta didukung Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 110/PMK.01/2022 Tentang Pedoman Layanan Informasi Publik Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Keuangan.
Dengan dimplementasikannya keterbukaan informasi publik di tiap penyelenggara pelayanan publik, setidaknya akan berdampak secara internal maupun eksternal. Secara internal, dengan terbukanya informasi, dapat mengurangi, hingga akhirnya diharapkan dapat menghilangkan potensi penyalahgunaan kewenangan publik oleh pejabat di instansi yang bersangkutan.
Selain itu diharapkan dapat meningkatkan mutu perumusan dan pelaksanaan kebijakan/program instansi, karena semua informasi sudah terbuka, sehingga secara internal semua orang mengetahui kondisi organisasi secara utuh.
Selanjutnya, diharapkan akan meningkatkan efisiensi, baik dari segi biaya ataupun waktu dalam pelaksanaan semua tugas organisasi, sehingga hasil dari pelaksanaan keterbukan tersebut akan membawa instansi untuk mendorong dan berkontribusi sebagai bagian dari upaya mewujudkan good governance.
Secara eksternal, jika keterbukaan informasi publik dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, maka akan berdampak pada meningkatnya mutu pelayanan kepada masyarakat, terjaminnya kepastian layanan publik bagi masyarakat, terwujudnya kemudahan layanan bagi masyarakat, sehingga hasil akhirnya diharapkan dapat meningkat kepercayaan masyarakat terhadap instansi pelayanan publik.
Dengan demikian, semua Badan Publik, khususnya intansi penyelenggara pelayanan publik, turut memenuhi amanah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dengan berpartisipasi secara aktif untuk menyediakan informasi kepada masyarakat, baik mengenai proses pelayanan, proses tindak lanjut, informasi umum yang bersifat serta merta, maupun komponen standar layanan sebagaimana dimuat dalam UU Pelayanan Publik. Harapannya dapat tercipta instansi penyelenggara yang benar-benar informatif dalam penyelenggaraan tugas dan fungsinya, sebagai pelayanan masyarakat dan abdi negara yang berkontribusi pada percepatan terwujudnya Reformasi Birokrasi di semua sektor pelayanan publik khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat Nusa Tenggara Barat yang ramah, berkemajuan dan mendunia.